AYAM DI UJUNG JALAN: KISAH PETUALANGAN RASA SAAT TRAVELING

Ayam di Ujung Jalan: Kisah Petualangan Rasa Saat Traveling

Ayam di Ujung Jalan: Kisah Petualangan Rasa Saat Traveling

Blog Article

Museumbola Setiap perjalanan selalu menyimpan cerita. Bukan hanya tentang keindahan alam, deretan bangunan bersejarah, atau senyum ramah warga lokal. Ada satu hal yang diam-diam selalu aku cari di setiap ujung jalan yang aku lewati: sepotong ayam, hangat, harum, dan penuh cerita rasa.


Buatku, makan ayam saat traveling bukan sekadar mengisi perut. Itu adalah ritual kecil untuk merayakan rasa, mengenal tradisi, dan menautkan kenangan. Karena di balik setiap gigitan ayam goreng, ayam bakar, hingga ayam bumbu pedas, selalu ada kisah tentang tangan-tangan terampil, dapur-dapur tua, dan rahasia bumbu warisan leluhur.







Ayam Goreng di Tengah Sawah


Perjalananku dimulai di sebuah desa kecil di kaki Gunung Merapi, Yogyakarta. Siang itu panas, motorku melaju perlahan melewati hamparan sawah yang mulai menguning. Lapar mulai menyapa, hingga seorang bapak tua di pinggir jalan menunjuk ke arah warung bambu yang nyaris tersembunyi di balik pepohonan.


Namanya Warung Mbah Seno. Tak ada papan nama besar, hanya aroma ayam goreng yang semerbak menguar ke jalan. Ayam kampung goreng di sini digoreng di kuali besi besar, dengan bumbu kuning yang meresap. Kremesannya renyah, sambal bawangnya galak, dan nasi putihnya mengepul. Makan di tengah sawah, ditemani suara angin dan gemericik air irigasi — sederhana, tapi bahagianya tak bisa dibeli.







Malam Pedas di Pinggir Pelabuhan


Beberapa hari kemudian, aku sampai di Pelabuhan Lembar, Lombok. Malam turun perlahan, tapi aroma asap dari bakaran di tepi jalan justru semakin tajam. Aku singgah di sebuah lapak kecil, hanya beratapkan terpal, di sana seorang ibu paruh baya membakar ayam kampung muda yang dilumuri bumbu cabe merah pekat.


Ayam Taliwang namanya. Pedasnya bukan main, tapi dibalik rasa menyengat itu, aku bisa mencicipi jejak bawang putih, terasi, dan kemiri. Daging ayamnya empuk, kulitnya renyah berlemak. Disajikan dengan plecing kangkung dan sambal tomat, aku melahapnya dengan tangan kosong. Malam itu, peluh bercucuran, lidah terbakar, tapi senyuman di bibir tak bisa hilang.







Ayam Tangkap di Tanah Rencong


Di Banda Aceh, aku sempat ragu saat seorang teman lokal mengajakku ke warung kecil bernama Mak Inong. Tempatnya di gang sempit, dengan lampu redup, tapi katanya ini warung ayam tangkap paling tua di kota itu.


Ayam dipotong kecil-kecil, digoreng kering bersama daun salam koja dan pandan. Saat dihidangkan, tumpukan ayam itu tertutup dedaunan goreng yang harum. Saat kunyahan pertama, gurihnya menggigit, tekstur renyah berpadu dengan aroma dedaunan yang khas. Sambalnya? Jangan ditanya — pedasnya menghentak.


Aku suka suasana di sana. Orang-orang duduk lesehan, tertawa, bercanda, dan semua tangan sibuk mengacak-acak tumpukan ayam. Di tempat itu, aku merasa menjadi bagian dari mereka.







Ayam Cincane di Tepi Sungai Mahakam


Perjalanan membawaku ke Samarinda, Kalimantan Timur. Di tepi Sungai Mahakam, ada warung tua bernama Depot Sari Rasa. Dindingnya dari kayu, meja-mejanya tua, dan di dapur belakang asap mengepul dari panggangan ayam.


Ayam Cincane, ayam bakar dengan bumbu merah menyala khas Samarinda. Rasanya kaya rempah, pedas, manis, dan legit sekaligus. Dagingnya empuk, bumbunya meresap sampai ke tulang. Aku makan sambil memandang aliran sungai di senja hari. Rasanya seperti menemukan harta karun rasa di sudut Nusantara.







Bukan Sekadar Makan


Di setiap tempat yang aku singgahi, ayam bukan sekadar lauk. Ia adalah bagian dari budaya, simbol keramahan, dan kisah warisan turun-temurun. Ada kebanggaan di mata penjualnya, ada cerita di balik resep yang katanya sudah diwariskan sejak buyut mereka dulu.


Dari ayam goreng kremes, ayam betutu, ayam taliwang, hingga ayam tangkap — semuanya punya jejak rasa masing-masing. Setiap daerah punya bumbunya, caranya, bahkan cara makannya. Dan di sanalah letak keistimewaannya.

Report this page